YOGYAKARTA, iNews.id - Banyak yang mengatakan asal mula Yogyakarta Kota Pelajar dikarenakan banyaknya pusat pendidikan yang ada di kota ini. Julukan ini muncul akibat banyaknya sekolah, lembaga pendidikan, sekolah tinggi hingga kampus di Yogyakarta.
Kota Yogyakarta atau dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama Kota Jogja atau Kota Yogya merupakan ibu kota dan pusat pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota ini merupakan kota besar yang mempertahankan konsep tradisional dan budaya Jawa.
Wilayah Kota Yogyakarta meliputi dua kerajaan, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Yogyakarta memiliki peran penting bagi perjalanan bangsa Indonesia baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Pada masa penjajahan Belanda, Kesultanan Yogyakarta berperan penting dalam sejumlah peristiwa yang menjadi sejarah kelahiran bangsa Indonesia. Selain itu, Yogyakarta juga pernah menjadi tuan rumah sejumlah kegiatan penting di masa lalu.
Sejarah Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategis menurut segi pertahanan dan keamanan pada waktu itu.
Berdirinya Kota Yogyakarta diawali dengan Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani oleh Pemerintah Hindia Belanda yang diwakili Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Giyanti : Negara Mataram dibagi dua, Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi.
Dalam perjanjian itu pula Pangeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alogo Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Daerah yang menjadi kekuasaan Pangeran Mangkubumi yaitu Mataram (Yogyakarta), Ponjong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumi Gede dan ditambah daerah mancanegara yaitu Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.
Setelah selesai perjanjian pembagian daerah itu, Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribu kota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.
Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan merupakan hutan yang disebut Beringin. Di sana telah terdapat sebuah desa kecil bernama Pacethokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan bernama Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu.
Kemudian namanya diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat untuk membabat hutan tersebut dan mendirikan Kraton.
Sebelum keraton tersebut selesai dibangun, Sultan Hamengku Buwono I menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Ia menempati pesanggrahan tersebut pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.
Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I memasuki istana baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama lengkapnya adalah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono dan ia menetap di Kraton yang baru. Peresmian Kraton dilakukan pada tanggal 7 Oktober 1756.
Asal Usul Julukan Kota Pelajar
Kota Yogyakarta juga mendapatkan julukan sebagai Kota Pelajar. Julukan ini diduga berasal dari banyaknya pusat-pusat pendidikan yang berdiri di Yogyakarta.
Pusat-pusat pendidikan tersebut secara otomatis akan menarik minat para pelajar dari berbagai daerah untuk menuntut ilmu di Kota Yogyakarta. Namun, menurut Kurniawati (2006), belum terdapat penelitian pasti yang mengungkap alasan di balik julukan Kota Pelajar atau Kota Pendidikan terhadap Kota Yogyakarta.
Dalam penelitiannya, Kurniawati berpendapat bahwa julukan tersebut tidak berkaitan dengan pola pendidikan tradisional, melainkan pendidikan modern.
Masih berdasarkan pendapat Kurniawati, citra Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan dan Kota Pelajar sangat dipengaruhi oleh simbol-simbol pendidikan yang ada di kota tersebut. Simbol-simbol itu berupa realitas fisik dan sosial.
Simbol fisik yang mempengaruhi julukan Kota Pelajar dapat terlihat dari banyaknya pusat pendidikan yang ada di Yogyakarta. Fasilitas pendidikan yang lengkap akan menarik minat para pelajar di berbagai daerah di Indonesia untuk menuntut ilmu di kota Yogyakarta.
Pusat pendidikan yang paling terkenal di Yogyakarta yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM). Kampus ini menjadi salah satu universitas pertama yang didirikan setelah kemerdekaan Indonesia.
Pada awal pendiriannya, UGM diperuntukkan sebagai Balai Nasional Ilmu Pengetahuan dan Budaya bagi penyelenggara pendidikan tinggi nasional di Indonesia.
Keberadaan UGM di Yogyakarta seakan membuka keran berdirinya perguruan tinggi lainnya. Perguruan yang berdiri pun beragam, mulai dari kesenian hingga keagamaan.
Perguruan tinggi keagamaan dapat dilihat dari berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) yang sekarang berubah menjadi Universitas Islam Indonesia. Sementara untuk bidang kesenian berdiri Akademi Seni Rupa Indonesia dan Akademi Musik Indonesia. Saat ini, keduanya melebur dan menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Untuk saat ini, setidaknya terdapat 100 lebih lembaga pendidikan negeri maupun swasta yang berdiri di Kota Yogyakarta. Dengan banyaknya jumlah lembaga pendidikan tersebut, maka bisa dikatakan bahwa hampir semua cabang ilmu pengetahuan diajarkan di Kota Yogyakarta. Fakta ini semakin mendukung status Yogyakarta sebagai Kota Pelajar dan Kota Pendidikan.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait