Ilustrasi perang Jawa antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda. (istimewa).

De Kock sempat menilai daerah ini sebagai "killing area" bagi pasukan Diponegoro. Tapi justru wilayah ini menjadi kuburan harapan Belanda.

Wilayah itu subur, berbukit terjal, berpenduduk padat, dan penuh loyalis Diponegoro. Ini menjadi ladang ideal untuk melakukan perang gerilya dan atrisi.

Penduduk di wilayah Mataram hanya mengakui Sultan Ngabdulkamid Herucokro, yakni Pangeran Diponegoro. Mereka menolak tunduk pada pemerintahan kolonial.

Dukungan rakyat ini menjadi kekuatan utama dalam mempertahankan logistik, informasi, dan perlawanan berkelanjutan terhadap Belanda.

Mataram berubah menjadi arena pertempuran kejam dengan deprivasi, penghancuran, dan eksekusi tawanan, yang mencerminkan upaya putus asa Belanda untuk mengakhiri perang.

Meski membangun 258 benteng, strategi De Kock gagal total di tangan Pangeran Diponegoro. Wilayah Mataram menjadi saksi kehancuran taktik kolonial akibat medan, cuaca, dan kekuatan rakyat.

Perang Diponegoro bukan hanya soal senjata, tapi juga soal kecerdasan strategi dan keberpihakan rakyat pada pemimpinnya sendiri. Sejarah mencatat, benteng tak akan berguna bila melawan semangat kemerdekaan.


Editor : Donald Karouw

Sebelumnya
Halaman :
1 2

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network