Di atas kapal, Pangeran Diponegoro mengalami situasi kesehatan kurang bagus yang dapat dikatakan buruk. Dia muntah-muntah akibat mabuk laut dan diperparah demam akibat malaria.
Bahkan, pada hari ketujuh pelayaran Pangeran Diponegoro sempat mengatakan, dirinya sudah ikhlas jika harus mati. "Akan tetapi, ia belum berada di ambang maut," kata Knoerle dalam catatan hariannya.
Pangeran Diponegoro mampu melewati masa kritisnya. Demamnya mereda dan dia kembali sehat. Gairahnya yang tertuju terhadap apa saja yang disaksikan di atas kapal, meluap-luap.
Ilmu bumi kawasan Indonesia Timur menarik perhatiannya. Dia bertanya seberapa jauh Ambon dari Manado? Apakah Manado jauh dari Makassar atau Tanah Bugis?.
Diponegoro sempat melihat peta Makassar dari dek depan kapal dan meminta izin Knoerle untuk melihatnya langsung. "Sehingga dia bisa lebih memahami lagi bentuk pulau Sulawesi," tulis Peter Carey.
Sayangnya Knoerle keberatan dan beralasan satu-satunya peta di kapal hanya diperuntukkan bagi keperluan navigasi. "Pangeran tetap gigih bertanya," kata Peter Carey.
Pangeran Diponegoro ingin tahu rute laut ke Jeddah. Apakah pantai-pantai Sulawesi bisa dilayari. Dia tidak berhenti memberondongkan berbagai pertanyaan kepada Knoerle yang membuat orang kepercayaan Van Den Bosch tersebut harus menahan sabar.
Tanggal 14 Mei 1830, badai dahsyat yang melintasi Gunung Muria di Jepara, tiba-tiba mengarah ke laut. Peristiwa alam yang membuat panik itu berlangsung pada pukul dua dini hari.
"Diponegoro tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya dan berteriak-teriak memanggil saya agar datang menghampiri, (memerintahkan agar) komandan kapal korvet seharusnya segera membuang jangkar," tulis Knoerle.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait