Keesokan harinya, kapal berada di kawasan perairan dekat Lasem. Udara panas menyengat. Namun laut sangat tenang. Knoerle mencatat: pemandangan pantai Laut Jawa telah mengiris-iris hati Pangeran Diponegoro.
Selama perjalanan menuju Manado, Diponegoro dan Knoerle melakukan percakapan yang cukup intens. Dia kerap mengundang Knoerle sarapan pagi di meja makannya.
Mengajak perwira berdarah Jerman tersebut menyantap menu nasi, kentang dan sambal, lalu mengudap biskuit sembari menikmati teh hitam. Mereka melakukan semuanya dengan duduk-duduk di atas tikar jerami yang lebar.
Di sela waktu itu, Knoerle juga meminjamkan buku-buku dan almanak. Diponegoro sangat tertarik dengan gambar-gambar yang ada di dalam buku.
Di lain kesempatan, Diponegoro giliran bercerita banyak hal. "Di antaranya tentang sejarah dan mitologi Jawa hingga sejarah Eropa terkini," tulis Peter Carey.
Knoerle memuji karakter dan sifat kewirausahaan Diponegoro yang kuat, terutama terkait dengan kecerdikan dan kearifannya dalam memberi penilaian. Namun di sisi lain dia melihat Diponegoro sebagai seorang yang menganggap prisip agamanya sendiri yang paling luhur.
Diponegoro berhasrat menegakkan aturan agamanya di atas puing-puing dari semua sistem lain. "Sikap Pangeran memang membingungkan Knoerle," kata Peter Carey.
Tanggal 12 Juni 1830, kapal Pollux membuang sauh di Manado. Pangeran Diponegoro dan pengikutnya diturunkan dari kapal. Kompeni Belanda mengawal mereka menuju Fort New Amsterdam, benteng Belanda.
Benteng yang kelak pada 14 Mei 1932 rusak akibat gempa dan berantakan akibat bom Amerika Serikat (7 Desember 1944) itu, menjadi rumah pengasingan pertama Pangeran Diponegoro selama tiga tahun.
Dari Manado, pengasingan Pangeran Diponegoro kemudian dipindah kompeni Belanda ke Makassar (1833-1855) hingga meninggal dunia di sana.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait