Gejog lesung pun kembali terdengar. Irama Gendhing (lagu) Tundhung (mengusir) Setan yang dimainkan menggunakan lesung dan alu tersebut terus mengalun selama prosesi berlangsung.
"Sebakul besar Wajik ditumplak pada jodhang, bentuknya serupa silinder dengan ketinggian sekitar pinggul orang dewasa," kata dia.
Rangka Gunungan Wadon yang terbuat dari bambu kemudian dipasang, diikat erat pada pasak besi yang terdapat pada jodhang mustaka gunungan yang telah dipersiapkan sebelumnya dianeka janur ditancapkan pada Wajik tadi.
Abdi Dalem Keparak mengoles lulur yang terbuat dari dlingo dan bengle pada jodhang. Sinjang (kain panjang) songer kemudian dililitkan pada rangka gunungan. Lilitan tersebut kemudian diikuti lilitan semekan (kain penutup dada perempuan) bangun tulak.
Gejog lesung berhenti dimainkan, pertanda upacara telah selesai. Lulur dlingo bengle kemudian dibagikan kepada abdi dalem yang bertugas serta pengunjung yang hadir. Tidak lama kemudian, sinjang songerdan semekan bangun tulak dilepas kembali.
"Dalam kepercayaan tradisional masyarakat Jawa, dlingo dan bengle adalah empon-empoan (rempah-rempah) yang aromanya tidak disukai oleh mahluk halus," ungkapnya.
Ia menyebut, gejog lesung dan lulur dlingo bengle berfungsi untuk penolak bala, ungkapan permohonan pada Yang Maha Kuasa agar rangkaian upacara yang diselenggarakan dapat lancar tanpa kendala.
Editor : Ainun Najib
Artikel Terkait