Angkernya Hutan Adat Wonosadi Gunungkidul, yang Berani Menebang Kayunya Akan Celaka

Pada tahun 1965 terjadilah pemberontakan PKI (G30 S PKI) yang berhasil ditumpas oleh negara dan berujung dibubarkannya Partai Komunis dan menjadi partai terlarang. Pamong Desa Beji diganti semua kecuali yang tidak berfaham komunis.
Namun asa bagi masyarakat Beji karena Hutan Wonosadi sudah terlanjur rusak berat di mana mana terjadi erosi tanah longsor, banjir kerikil, mata air mati, masyarakat menderita pertanian merosot total. Untuk memulihkan keadaan masyarakat hutan Wonosadi dan sekitarnya harus dipulihkan.
"Pak Lurah yang baru mengadakan rapat desa dengan keputusan dan 1966 hutan Wonosadi harus pulihkan menjadi hutan kembali. Bapak saya, Pak Sudiyo ditunjuk oleh Lurah Desa supaya mengkordinir masyarakat Beji untuk membuat hutan kembali. Lalu dibuat panitia yang diketuai oleh bapak saya, Sudiyo," ujarnya.
Kini hutan Wonosadi telah kembali lestari. Luas Hutan Wonosadi menjadi 23 Ha di mana hutan inti ada 18 ha dan hutan penjaga ada 5 hektare. Berbagai tumbuh-tumbuhan ada di hutan ini dan kebanyakan tumbuhan langka ada di hutan inti.
Sementara 5 hektare lainnya ditanami berbagai pohon besar di mana di sela pohon besar ditanami berbagai tanaman buah. Tujuannya tanaman buah ini untuk memberi makan kera-kera ekor panjang yang jumlahnya cukup banyak. Jika tidak disediakan makanan, kera-kera ini akan menyerang tanaman pangan yang dibudidayakan petani
Hartini menambahkan, berdasarkan cerita nenek moyang, Hutan Wonosadi terjadi ketika perang perang Demak dan Majapahit antara anak dan ayah jatuh dan kekuasaan Kerajaan berpindah ke Demak. Kemudian salah seorang garwa selir Raja Majapahit yang bernama Rara Resmi dengan kedua puteranya yang bernama Gadhing Mas dan Onggoloco tidak mau tunduk ke Demak.
"Mereka kemudian pergi ke Jawa Tengah untuk memenuhi pesan raja Majanahit yang terakhir Prabu Browijoyo supaya mencari wahyu Kraton dengan jalan bertapa. Sebab menurut para Pujangga Majapahit Wahyu kraton untuk selamanya berada di wilayah Jawa Tengah," ceritanya.
Sampailah Rara Resmi dengan kedua puteranya itu di Dusun Duren, Beji, Ngawen, Gunungkidul dan bertempat tinggal dan berbaur dengan masyarakat di Duren. Rara Resmi dengan kedua puteranya itu lebih pandai di segala ilmu serta sangat baik hati terhadap siapa saja suka menolong sesamanya.
Tempat tinggal Rara Resmi di Duren sampai sekarang masih ada bekasnya berupa sebidang tunah yang pekarangannya dianggap keramat dan ditumbuhi kayu beringin, gayam, mangga kuno yang sudah berumur ratusan tahun.
Editor: Ainun Najib