Angkernya Hutan Adat Wonosadi Gunungkidul, yang Berani Menebang Kayunya Akan Celaka

GUNUNGKIDUL, iNews.id- Hutan Adat Wonosadi di Ngawen Gunungkidul oleh masyarakat setempat terkenal angker. Karena adat setempat yang menganggap angker, membuat warga tidak ada yang berani menebang bahkan mengambil pohon yang telah mati di hutan ini.
Ketua Jagawana Hutan Adat Wonosadi Sri Hartini (52) mengatakan, hutan Wonosadi terletak di Dusun Duren dan Dusun Sidorejo Desa Beji Kecamatan Ngawen. Hutan ini terletak di perbukitan yang berbatu hitam, tanahnya merah kehitaman.
Hutan ini berada di ketinggian 400 meter di permukaan laut (MDPL) dengan luas 25 hektare (ha) hutan inti dan 25 ha hutan penyangga. "Hutan inti 25 ha ini tanahnya tanah negara berstatus tanah OO (oro-oro)," ujarnya.
Menurut cerita, tanah OO tersebut merupakan pemberian dari Raja Mangku Negaro di Surakarta kepada masyarakat untuk menggembalakan ternak mereka. Seperti diketahui, sebelum tahun 1958 Ngawen itu termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Mangkunegaran Surakarta.
Saat ini Hutan Wonosadi berstatus Hutan Adat, sebab di dalam hutan itu setiap setahun sekali diadakan Upacara Tradisional Sadranan. Upacara Sadranan itu dilaksanakan oleh masyarakat Desa Beji sudah beratus-ratus tahun dan belum pernah lowong. Sekalipun pandemi Covid-19 mereka tetap melaksanakannya meski dengan skala lebih sederhana. "Sebelum tahun 1964, hutan Wonosadi lebat sekali," ujar dia.
Pohon yang tumbuh cukup besar dan sangat rimbun di mana di dalamnya ada sumber mata air yang besar dan berguna untuk kepentingan masyarakat seperti pertanian maupun untuk rumah tangga. Masyarakat di sekitar Wonosadi dapat menanam padi setahun tiga kali.
Sayangnya, akibat ulah manusia, tahun 1964 sampai dengan 1966 hutan Wonosadi rusak kayu-kayu habis ditebang. Hanya menyisakan 4 pohon asem yang berada di tengah. Konon apa yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bertanggung jawab tersebut karena anjuran PKI. Sebab waktu itu Desa Beji dikuasai Pamong yang berpaham komunis.
"Nah tahun 1964 dan tahun 1966 disekitar Wonosadi terjadi banjir kerikil dan erosi. Sumber mata air mati, masyarakat bingung karena kekurangan air. Padahal ada musim kemarau atau ketigo. Sawah sawah rusak tertimbun kerikil. Petani pada musim kemarau tidak bisa menanam tanaman lagi," ujarnya.
Pada tahun 1965 terjadilah pemberontakan PKI (G30 S PKI) yang berhasil ditumpas oleh negara dan berujung dibubarkannya Partai Komunis dan menjadi partai terlarang. Pamong Desa Beji diganti semua kecuali yang tidak berfaham komunis.
Namun asa bagi masyarakat Beji karena Hutan Wonosadi sudah terlanjur rusak berat di mana mana terjadi erosi tanah longsor, banjir kerikil, mata air mati, masyarakat menderita pertanian merosot total. Untuk memulihkan keadaan masyarakat hutan Wonosadi dan sekitarnya harus dipulihkan.
"Pak Lurah yang baru mengadakan rapat desa dengan keputusan dan 1966 hutan Wonosadi harus pulihkan menjadi hutan kembali. Bapak saya, Pak Sudiyo ditunjuk oleh Lurah Desa supaya mengkordinir masyarakat Beji untuk membuat hutan kembali. Lalu dibuat panitia yang diketuai oleh bapak saya, Sudiyo," ujarnya.
Kini hutan Wonosadi telah kembali lestari. Luas Hutan Wonosadi menjadi 23 Ha di mana hutan inti ada 18 ha dan hutan penjaga ada 5 hektare. Berbagai tumbuh-tumbuhan ada di hutan ini dan kebanyakan tumbuhan langka ada di hutan inti.
Sementara 5 hektare lainnya ditanami berbagai pohon besar di mana di sela pohon besar ditanami berbagai tanaman buah. Tujuannya tanaman buah ini untuk memberi makan kera-kera ekor panjang yang jumlahnya cukup banyak. Jika tidak disediakan makanan, kera-kera ini akan menyerang tanaman pangan yang dibudidayakan petani
Hartini menambahkan, berdasarkan cerita nenek moyang, Hutan Wonosadi terjadi ketika perang perang Demak dan Majapahit antara anak dan ayah jatuh dan kekuasaan Kerajaan berpindah ke Demak. Kemudian salah seorang garwa selir Raja Majapahit yang bernama Rara Resmi dengan kedua puteranya yang bernama Gadhing Mas dan Onggoloco tidak mau tunduk ke Demak.
"Mereka kemudian pergi ke Jawa Tengah untuk memenuhi pesan raja Majanahit yang terakhir Prabu Browijoyo supaya mencari wahyu Kraton dengan jalan bertapa. Sebab menurut para Pujangga Majapahit Wahyu kraton untuk selamanya berada di wilayah Jawa Tengah," ceritanya.
Sampailah Rara Resmi dengan kedua puteranya itu di Dusun Duren, Beji, Ngawen, Gunungkidul dan bertempat tinggal dan berbaur dengan masyarakat di Duren. Rara Resmi dengan kedua puteranya itu lebih pandai di segala ilmu serta sangat baik hati terhadap siapa saja suka menolong sesamanya.
Tempat tinggal Rara Resmi di Duren sampai sekarang masih ada bekasnya berupa sebidang tunah yang pekarangannya dianggap keramat dan ditumbuhi kayu beringin, gayam, mangga kuno yang sudah berumur ratusan tahun.
Onggoloco bertapa sambil membuat hutan dengan maksud untuk membalas budi baik kepada masyarakat karena baik hatinya. Terjadilah hutan itu sumber mata air yang sangat berguna bagi ketutuhan hidup di masyarakat sekitarnya sampai sekarang.
"Suburlah tanah disekitar hutan itu sampai menunjang ke daerah lain," ungkapnya.
Hutan ini dinamakan Hutan Wonosadi yang artinya kurang lebih Wono atau alas dan Sadi atau sandi yang berarti rahasia.
Apakah yang dirahasiakan sampai sekarang belum ada yang mengetahui. Untuk mengenang dan rasa terimakasih dari masyarakat kepada Onggoloco karena jasajasanya yang telah membuat hutan dan bersumber mata air maka setiap setahun sekali diadakan upacara Adad Tradisional yang disebut Sadran. (Sadranan berarti kiriman)
Dia menambahkan, banyak anggapan atau kepercayaan akan terjadi sesuatu yang buruk ketika masyarakat merusak hutan Wonosadi. Dia menceritakan pernah ada Lurah yang nekat menebang pohon menggunakan mesin gergaji. Tak berselang lama Lurah tersebut meninggal.
"Beliau meninggal karena nyemplung (masuk got). Banyak kejadian-kejadian mistis di sini. Terakhir tiga tahun lalu ada nenek hilang di hutan Wonosadi sampai sekarang belum ketemu. Bahkan SAR itu sampai menginap di sini herbulan-bulan tetapi tidak ketemu juga,"kata dia.
Keangkeran Hutan Wonosadi tersebut masih terjaga sampai saat ini. Hal tersebut tidak lepas dari pesan Rara Resmi yang melarang warganya untuk merusak hutan Wonosadi. Jika melakukannya maka akan terjadi sesuatu yang negatif menimpa mereka. "Sampai sekarang masih kami ugemi (percaya) pesan beliau,"ujar dia.
Editor: Ainun Najib