Dihantam Badai Penyakit Ternak, Sapi Gunungkidul Tak Laku

GUNUNGKIDUL, iNews.id - Peternak sapi di Kabupaten Gunungkidul mengeluhkan sepinya aktivitas jual beli ternak khususnya sapi. Sejak ada penyakit antraks, kuku dan mulut (PKM) kini muncul lagi penyakit Lumpy Skin diseases (LSD) yang menyerang ternak sehingga harga sapi turun dan aktivitas pasar sepi.
“Pasar sapi ilang kumandange (sepi),” kata Mursinah, salah seorang pedagang sapi di Pasar Siyonoharjo, Gunungkidul, Minggu (19/3/2023).
Menurut sejak ada tiga penyakit itu menjadikan peternak dan pedagang sapi tidak bisa berkutik. Sapi tidak laku dijual, lantaran tidak laku. Pedagang memilih menahan ternak dan enggan membawa ke pasar karena takut tidak laku dan tertular penyakit. Terlebih ada himbauan dari dinas Peternakan agar sapi yang terkena LSD tidak dibawa terlebih dahulu ke pasar Sapi.
"Sekarang sama saja, cari duit susah,” kata dia.
Kondisi serupa juga dialami oleh peternak sapi di. Seno peternak sapi di Dusun Karangasem Kalurahan Mulo Kapanewon Wonosari, menyebut hidup para peternak sapi di Gunungkidul kian hari kian terhimpit. Berbagai penyakit terus mendera, sehingga usaha budi daya sapi menjai lesu.
Dimulai dari penyakit anthrax kemudian disusul dengan mengeluh anjloknya harga sapi ditengah melonjaknya harga pollard saat ini. Padahal ketergantungan peternak sapi dengan pakan pabrikan ini cukup tinggi terutama untuk penggemukan.
Penyakit antraks sempat membuat harga sapi terpuruk. Ketika harga sapi hampir pulih, muncul penyakit mulut dan kuku. Belakangan ada lagi penyakit LSD.
“Sapi yang dibawa ke pasar hewan banyak yang tidak laku karena pembeli masih khawatir akan paparan penyakit tersebut,” ujarnya.
Peternak semakin terjepit karena sekarang untuk memelihara sapi biayanya melonjak. Salah satu pemicunya adalah naiknya harga Polard yang naik dari Rp350.000 per zak menjadi Rp450.000.
"Kalau polard itu kami sangat butuh. Lha kalau Ndak di-polard tidak bisa gemuk," kata dia.
Di sisi lain, untuk mencari rumput kian sulit karena banyak lahan yang berganti menjadi tanaman jati. Pohon-pohon yang awalnya bisa dimanfaatkan daunnya untuk pakan, kini te;ah diganti.
"Ya sebenarnya rugi kalau dihitung-itung. Apalagi kalau dihitung tenaga dan waktu, tapi itu salah satu tabungan kami," ujar dia.
Editor: Kuntadi Kuntadi