Jejak Sunan Geseng di Blumbang Banyuurip, Jati Kluwih dan Watu Golong

BANTUL, iNews.id -Wilayah, Dlingo, Bantul saat ini menjadi salah satu tujuan wisata di Yogyakarta. Selain hutan pinusnya yang terkenal, kawasan ini juga menyimpan potensi wisata religi.
Legenda penyebaran agama Islam oleh Sunan Geseng alias Jebeng Cokro Joyo sangat melekat dengan daerah ini. Cerita ini menyebar turun temurun. Di Dusun Banyuurip, Jatimulyo, Dlingo, Bantul terdapat mata air yang konon sangat erat kaitanya dengan kisah Sunan Geseng ini.
Lokasinya sekitar 1,5 kilometer arah timur Balai Desa Jatimulyo. Di malam-malam tertentu, seperti malam 1 Sura, Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon lokasi ini selalu ramai dikunjungi masyarakat. Sejumlah tokoh nasional konon dikabarkan juga mendatangi lokasi ini. Mantan petinggi salah satu institusi keamanan di negeri ini kabarnya juga pernah datang ke lokasi ini.
“Di Dusun Banyuurip ada dua tempat yang dipercaya masyarakat setempat terkait kisah Jebeng Cokro Joyo atau Sunan Geseng,” kata Syafruddin Tamar (40), pemuda setempat yang sehari-hari merawat Blumbang Banyuurip atau Sumber Penguripan. Di Blumbang Banyuurip ini konon Sunan Geseng diberi minum oleh Sunan Kalijogo.
Menurut Tamar, Blumbang Banyuurip ini lokasinya sekitar 500 meter ke arah timur dari Sendang Banyuurip yang biasa dikunjungi masyarakat. "Sebenarnya sumber penguripan yang asli berada di sebuah sumur yang lokasinya dekat dengan sungai, bukan yang di sebelah barat," katanya, Sabtu (20/11/2021).
Syafruddin menceritakan, pada zaman dahulu di daerah Bagelan, Purworejo, ada pemuda bernama Jebeng Cokro Joyo. Anak petani ini sehari-harinya bekerja sebagai penderes gula kelapa. Sambil bekerja, dia sering beryanyi tembang-tembang Jawa. Suatu hari, saat Jebeng Cokro Joyo menyanyikan tembang Jawa sambil menderes pohon kelapa, lewatlah Sunan Kalijaga. Dia sangat tertarik dengan nyanyian Jebeng Cokro Joyo.
”Lalu Sunan Kalijaga berhenti, menunggu Cokro Joyo turun dari pohon. Tak berapa lama, terjadi diskusi di antara keduanya. Jebeng Cokro Joyo pun kemudian diangkat menjadi murid oleh Sunan Kalijogo,” kata Tamar.
Sunan Kalijaga banyak memberi petuah tentang agama Islam kepada murid barunya itu. Jebeng Cokro Joyo mendengarkan dengan seksama. Karena sangat tertarik dengan petuah petuah Sunan Kalijaga, Jebeng Cokro Joyo kemudian meminta izin Sunan Kalijaga untuk ikut berkelana sambil menimba ilmu. Sunan Kalijaga pun memperbolehkan. Mereka berdua segera berjalan ke arah timur dan sampailah mereka di suatu tempat.
Saat itu, Sunan Kalijaga ingat bahwa dirinya harus pergi ke Makkah untuk menjalankan tugas. Kepada Jebeng Cokro Joyo, Sunan Kalijaga berkata, “Jebeng Cokro Joyo muridku, tunggulah aku di sini. Kamu tidak boleh pergi dari tempat ini sampai aku kembali. Ini ujian bagimu sebagai muridku.”
Jebeng Cokro Joyo diperintahkan untuk menunggu di sebuah pegunungan. Sunan Kalijaga menancapkan tongkat miliknya di depan Jebeng Cokrojoyo dan diminta untuk menjaga tongkat tersebut. Tongkat itu nanti akan diberikan dengan syarat Jebeng Cokro Joyo harus berada di tempat itu sampai Sunan Kalijaga kembali dari Makkah. Jebeng Cokro Joyo juga tidak boleh berpindah dari tempat itu.
Setelah waktu berjalan tak terasa hingga bertahun-tahun lamanya, dikisahkan Jebeng Cokro Joyo tetap tidak pergi karena taat dengan perintah gurunya. Karena sudah terlalu lamanya dia duduk bersila, di sekitarnya banyak tumbuhan bambu muncul. Bahkan, badan Jebeng Cokro Joyo juga dipenuhi tumbuh-tumbuhan rambat.
Bersamaan dengan itu, di Makkah, Sunan Kalijaga ingat bahwa Cokro Joyo masih berada di tempat itu. Spontan, Sunan Kalijaga kembali ke tempat Jebeng Cokro Joyo. Setelah sampai di sana, yang ada hanya pohon-pohon bambu yang rimbun. Tapi Sunan Kalijaga yakin bahwa Jebeng Cokro Joyo berada di tengah bambu itu.
Karena terlalu rimbun, maka Sunan Kalijaga membakar rerimbunan pohon bambu tersebut. Setelah dibakar, ternyata memang benar Cokro Joyo berada di tempat itu. Seluruh badan Jebeng Cokrojoyo hitam gosong.
“Dalam cerita rakyat, daerah yang dibakar ini kemudian dikenal dengan Kampung Maladan, Jatimulyo, Dlingo, dan Bantul. Maladan berasal dari kata api yang molad-molad atau api yang berkobar-kobar,” kata Tamar.
Begitu mengetahui muridnya gosong terbakar, Sunan Kalijaga memutuskan untuk membawa Jebeng Cokro Joyo ke sebelah barat Sungai Oyo. Ternyata sungai itu kering. Sunan Kalijaga kemudian menancapkan tongkatnya dan muncullah sumber mata air yang jernih dan berlimpah. Jebeng Cokro Joyo kemudian dimandikan. Ajaib, usai dimandikan, Jebeng Cokro Joyo yang saat itu diketahui mati dalam kondisi gosong, seketika hidup kembali.
“Mata air tempat ditancapkan tongkat ini kemudian dikenal masyarakat sebagai Blumbang Banyuurip atau Banyu Penguripan, bentuknya sekarang sebuah sumur. Sementara tempat membuang kotoran Jebeng Cokrojoyo dikenal dengan Sendang Pocot,” kata Tamar.
Setelah itu, Sunan Kalijaga mengajak Jebeng Cokro Joyo berjalan ke arah barat. Di tengah perjalanan, ada sebuah pohon jati. Mereka berhenti di dekat pohon itu. Sunan Kalijaga bertanya pada Jebeng Cokro Joyo. “Itu pohon apa?” Maksud Sunan Kalijaga adalah untuk menguji ingatan Cokro Joyo.
Cokro Joyo berpikiran bahwa Sunan Kalijaga hanya ingin mengujinya. Lalu Sunan Kalijaga menjawab, ”Itu pohon kluwih.” Ternyata pohon jati itu berubah menjadi pohon kluwih. Hal itu menjadi perdebatan di antara mereka, antara pohon jati dan kluwih. Tiba-tiba pohon itu berubah dengan daun pohon jati dan daun kluwih. Pohon ini akhirnya disebut dengan nama pohon jati kluwih. Sampai saat ini, pohon jati kluwih masih ada, tepatnya di Dusun Loputih, Jatimulyo, Dlingo.
Setelah mengetahui pohon dapat berubah menjadi pohon jati kluwih, Sunan Kalijaga mengubah nama Jebeng Cokro Joyo menjadi Sunan Geseng. Setelah itu mereka memutuskan untuk berjalan lagi. Tak berapa lama, Sunan Kalijaga kembali menguji kemampuan Sunan Geseng. Sunan Kalijaga membawa batu bulat. Dia lalu bertanya, “Ini apa?” Sunan Geseng menjawab, “Ini golong”.
Ketika batu itu disentuh oleh Sunan Geseng, ternyata batu itu berubah menjadi golong. Batu itu juga masih ada dan diletakkan di halaman Masjid Badean, Jatimulyo Dlingo.
“Masyakat masih merawat petilasan ini, baik Blumbang Banyuurip, Sendang Pocot, Jati Kluwih, dan Watu Golong," ujarnya.
Masyarakat yang menginginkan sesuatu atau memiliki hajat seperti ingin lancar rezeki, ingin karir sukses atau ingin hal-hal positif lainnya mereka melakukan ritual mandi di Blumbang Banyuurip dengan didampingi Tamar.
Sebaliknya sesorang yang ingin punya niat mencopot jabatan sesorang atau bahkan ingin menciderai orang lain datang ke Sedang Pocot dengan membawa syarat tertentu. "Banyak warga yang ingin sesuatu, mandi di Blumbang Banyuurip. Sementara yang ingin mocot (mencopot) kedudukan seseorang datang ke Sendang Pocot. Tapi itu semua atas kuasa Allah agar tidak menjadi musyrik,” kata Tamar.
Editor: Ainun Najib