Pegiat Literasi Jogja: Mahasiswa Magang Rawan terhadap Eksploitasi Ketenagakerjaan
Salah satu penyebabnya, ketentuan-ketentuan pemagangan dalam UU No 13 Tahun 2003 dan Permenaker No 6 Tahun 2020 hanya bisa diterapkan pada pemagangan yang bersifat apprenticeship, bukan internship.
"Apprenticeship umumnya berbentuk on the job training, atau pencari kerja yang sedang dalam proses pelatihan kerja, atau mereka yang telah lulus sekolah dan lulus kuliah. Sedangkan, internship dilakukan oleh para pelajar dan mahasiswa yang dalam hal ini untuk mencari pengalaman," katanya.
Menurutnya, ketiadaan payung hukum menyebabkan pemagang pelajar dan mahasiswa rawan untuk dieksploitasi. Mereka mendapatkan beban kerja tinggi dengan jam kerja laiaknya pekerja penuh waktu, bahkan ada target yang harus dipenuhi, namun tanpa kompensasi upah dan jaminan sosial.
Selain itu, terdapat pula beberapa perusahaan dan lembaga memberikan aturan tarif yang harus dibayarkan oleh pemagang pelajar dan mahasiswa. "Bukan perusahaan yang butuh kamu, tapi kamu butuh perusahaan," ujarnya.
Ardha menilai kondisi karut-marut distribusi hak dan kewajiban ketenagakerjaan dalam pemagangan nyatanya tak menyurutkan institusi pendidikan dalam mengirim pelajar dan mahasiswanya sebagai pekerja magang. Magang bahkan bukan lagi dimaknai sebagai proses belajar, namun suatu tuntutan dalam rupa syarat kelulusan.
Sementara itu, katanya, kini magang telah menjadi suatu norma yang harus dipatuhi oleh pelajar dan mahasiswa. Kurikulum pembelajaran justru menjebak peserta didik sebagai korban ketidakadilan sistem korporasi, alih-alih kebebasan dalam membentuk paradigma berpikirnya.
Dia menyebut lemahnya aturan hukum ini membuat korporasi dan lembaga pemberi kerja menyalahgunakan sistem pendidikan untuk menekan biaya gaji karyawan. Merekrut pemagang sama artinya menyelesaikan banyak pekerjaan, meraup lebih banyak target, namun tanpa kenaikan pembiayaan operasional.
Editor: Ainun Najib