Sosok Cak Nun, Budayawan dan Tokoh Intelektual Muslim Indonesia
JAKARTA, iNews.id - Budayawan Emha Ainun Najib atau Cak Nun mengalami pendarahan otak dan dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Yogyakarta, Kamis (6/7/2023). Kondisinya tak sadarkan diri saat dibawa ke rumah sakit.
Cak Nun merupakan seorang sastrawan, budayawan, seniman, penyair yang dikenal sebagai tokoh intelektual Muslim Indonesia. Dia memiliki pemikiran sangat luas di bidang sastra, teater, tafsir, tasawwuf, musik, filsafat, pendidikan dan kesehatan.
Cak Nun lahir dengan nama Muhammad Ainun Nadjib dan sering disingkat MH Ainun Nadjib. Seiring waktu, ejaannya diubah menjadi Emha sehingga lebih dikenal dengan nama Emha Ainun Nadjib.
Cak Nun lahir di Desa Menturo, Sumobito, Jombang, Jawa Timur pada 27 Mei 1953 dan usianya kini 70 tahun. Dia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara pasangan Muhammad Abdul Lathif dan Chalimah.
Sang ayah, Muhammad Lathif merupakan petani dan juga kiai yang terkenal di desanya. Sementara ibunya, seorang ibu rumah tangga.
Cak Nun yang memiliki jiwa sosial tinggi sejak kecil dan memulai pendidikan sekolah dasar di Desa Menturo. Kemudian melanjutkan sekolah di SMP Muhammadiyah Yogyakarta dan Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo.
Cak Nun keluar dari pondok pesantren sebelum tamat sekolah. Dia lalu melanjutkan pendidikan di SMA Muhammadiyah 1 Yogyakarta.
Setelah menyelesaikan sekolah, Cak Nun menempuh bangku kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Meski latar belakang pendidikan di bidang ekonomi, tak menutup minatnya untuk mendalami dunia seni.
Pada 1975, setelah melewati banyak hal dan berdiskusi dengan berbagai kalangan, khususnya komunitas Malioboro, Cak Nun merilis antologi puisi pertamanya dengan judul 'M' Frustasi.
Pada tahun yang sama, Cak Nun menjadi pemimpin Teater Dinasti yang dia dirikan bersama teman-temannya di Yogyakarta. Di sana dia bertemu Neneng Suryaningsih yang juga aktif di Teater Dinasti.
Mereka menikah dan dikaruniai anak laki-laki bernama Sabrang Mowo Damar Panuluh yang merupakan vokalis band Letto. Namun pernikahan Cak Nun dan Neneng kandas.
Nama Cak Nun semakin berkibar setelah Pengurus Besar HMI mengundangnya untuk berpidato dalam Dies Natalis ke-29 di Semarang pada 5 Februari 1976.
Cak Nun menikah lagi dengan Novia Kolopaking yang menjadi istrinya sampai saat ini. Novia Kolopaking merupakan seorang seniman film dan penyanyi pada 1997. Mereka dikaruniai empat orang anak, yaitu Ainayya Al-Fatihah, Aqiela Fadia Haya, Jembar Tahta Aunillah dan Anayallah Rampak Mayesha.
Pada masa Orde Baru, sejak 80-an, Cak Nun termasuk salah satu tokoh masyarakat yang vokal dan kritis kepada Soeharto. Dia sering kali menempatkan diri dalam oposisi langsung melawan pemerintahan Orde Baru.
Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihat. Dia kemudian menyampaikan celetukan yang diadopsi Soeharto berbunyi 'Ora dadi presiden ora pathèken' (arti dalam bahasa Indonesia: Tidak Jadi Presiden Tidak Apa-Apa).
Karya Cak Nun
Sejumlah karya-karya puisi Cak Nun di antaranya 'M' Frustasi (1976), Sajak-Sajak Cinta (1978), Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978) dan lain-lain.
Karya-karya esai yaitu Sastra yang Membebaskan (1985), Dari Pojok Sejarah (1985), Tuhan pun Berpuasa (1995).
Sementara karya-karya buku di antaranya Mbah Nun Bertutur; Kalau Kamu Ikan Jangan Ikut Lomba Terbang, BH, Semesta Emha Ainun Najib dan masih banyak lagi.
Cak Nun pernah mengikuti kegiatan kesenian internasional, seperti Lokakarya Teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) serta Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman Barat (1985).
Editor: Donald Karouw